Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawwaz, Lc

Pada edisi yang lalu, kita telah menjelaskan betapa besarnya ancaman Allah terhadap orang-orang yang enggan membayar kewajiban zakat. Maka pada edisi kali ini kita akan menyebutkan syarat-syarat wajibnya Zakat berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.Syarat-Syarat Wajibnya Zakat:
Zakat maal (harta benda) tidak wajib dikeluarkan kecuali jika telah terpenuhi syarat-syaratnya. Dan syarat-syarat wajibnya zakat itu terbagi menjadi dua bagian. Ada yang berkenaan dengan orang yang wajib mengeluarkan zakat, dan ada yang berkenaan dengan harta benda itu sendiri.

A. Syarat-syarat yang berkenaan dengan orang yang wajib mengeluarkan zakat:
(1) Islam.
Maksudnya, bahwa mengeluarkan zakat itu hanya wajib atas setiap muslim, dan tidak wajib atas orang kafir (baik dia kafir dari asalnya seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Hindu, Budha dan semisalnya maupun kafir karena murtad), karena zakat adalah salah satu rukun Islam. Hal ini berdasarkan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Mua’dz bin Jabal saat mengutusnya ke negeri Yaman:
… فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ…
“… beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” (HR.Bukhari II/505 no.1331, dan Muslim I/50 no. 19, dari Ibnu Abbas). Artinya zakat adalah kewajiban yang tidak diwajibkan kepada seseorang sebelum masuk Islam.

Demikian pula zakat berfungsi sebagai pensuci jiwa dan harta seorang muslim. Ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُم
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
Sedangkan orang kafir itu najis. Dan sekiranya ia (orang kafir) berinfak emas sebesar bumi, niscaya infaknya itu tidak diterima Allah sehingga ia bertaubat dari kekufurannya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَبِرَسُولِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan Karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya.” (QS. At-Taubah: 54)

(2) Merdeka.
Maksudnya, zakat tidak wajib bagi hamba sahaya karena ia tidak memiliki harta benda. Sebab harta apapun yang ada di tangan hamba sahaya, maka sesungguhnya harta itu milik tuannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
مَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِى بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
“Barangsiapa membeli seorang budak dan ia memiliki harta, maka hartanya itu diperuntukkan bagi orang yang menjualnya, kecuali jika seorang pembeli telah mensyaratkannya (yakni si pembeli mensyaratkan di dalam transaksi jual beli bahwa budak dan apa saja yang ada di tangannya menjadi milik pembeli, pent).” (HR. Bukhari II/838 no.2250, dan Muslim III/1172 no.1543).

Masalah: Apakah anak kecil dan orang gila yang kaya dan memenuhi syarat-syaratnya diwajibkan mengeluarkan zakat?

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Namun pendapat yang nampak kuat adalah adalah yang menyatakan bahwa anak kecil yang belum baligh dan orang gila diwajibkan mengeluarkan zakat jika telah terpenuhi syarat-syaratnya. Karena Allah dan Rasul-Nya memerintahkan secara umum kepada orang kaya muslim agar mengeluarkan zakat tanpa mengecualikan anak-anak kecil dan orang gila. Allah Ta’ala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
Karena zakat berkaitan dengan harta, bukan dengan personalnya. Dan demikianlah pendapat mayoritas ulama sebagaimana yang dipegangi oleh madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. (Lihat Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili II/739-740).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
أَلاَ مَنْ وَلِىَ يَتِيمًا لَهُ مَالٌ فَلْيَتَّجِرْ فِيهِ وَلاَ يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ
“Barangsiapa menjadi wali anak yatim yang memiliki harta, maka Dagangkanlah (kembangkanlah) harta anak yatim itu, dan janganlah membiarkan hartanya (berkurang, pent) karena dikeluarkan zakatnyat.” (HR. At-Tirmidzi III/32 no.641, dan Al-Baihaqi VI/2 no.10764).

B. Syarat-syarat yang berkenaan dengan harta benda yang wajib dikeluarkan zakatnya.
(1) Kepemilikan harta tersebut secara penuh.
Maksudnya, penguasaan seseorang terhadap harta kekayaan tersebut secara sempurna, sehingga bisa menggunakannya secara khusus. Atau harta benda itu milik individu dan tidak berkaitan dengan hak orang lain. Karena Allah Ta’ala mewajibkan zakat ketika harta itu sudah dinisbatkan kepada pemiliknya. sebagaimana firman Allah Ta’ala:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (At-Taubah: 103)
Karena itulah zakat tidak diambil dari harta yang tidak ada pemiliknya secara definitif. Seperti al-fa’i (harta yang diperoleh dari orang kafir tanpa perang), ghanimah (harta rampasan perang), aset negara, kepemilikan umum, dan wakaf khairi.

Demikian pula tidak wajib zakat pada harta haram, yaitu harta yang diperoleh seseorang dengan cara haram, seperti ghasab (ambil alih semena-mena atau tanpa hak), mencuri, pemalsuan, suap, riba, ihtikar (menimbun untuk memainkan harga), menipu dan lain sebagainya. Cara-cara ini tidak membuat seseorang menjadi pemilik harta. Ia wajib mengembalikan kepada pemiliknya yang sah. Jika tidak ditemukan pemiliknya, maka ia wajib menyalurkan semua hartanya untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tanpa ada niat bersedekah atau mengharap pahala darinya. Karena Allah adalah Dzat yang Maha baik, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja (dari amalan para hamba-Nya, pent).” (HR. Muslim II/703 no.1015)
Sedangkan piutang, yang masih ada harapan kembali, maka pemilik harta harus mengeluarkan zakatnya setiap tahun. Namun jika tidak ada harapan kembali, karena orang yang berhutang mengalami kesulitan dalam pelunasan hutangnya atau karena sebab lainnya, maka pemilik piutang hanya berkewajiban zakat pada saat hutang itu dikembalikan dan hanya zakat untuk satu tahun saja meskipun telah lewat beberapa tahun. (Lihat Dalil Al-Irsyaadaat Li Hisab Zakati Asy-Syarikaat, hal.24).

(2) Termasuk harta yang berkembang.
Maksudnya, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya harus berupa harta yang berkembang aktif, atau siap berkembang, yaitu harta yang lazimnya memberi keuntungan dan manfaat kepada pemiliknya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ
“Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat pada budak dan kudanya.” (HR. Bukhari II/532 no.1395, dan Muslim II/675 no.982).

Berdasarkan hadits ini, beberapa ulama berpendapat bahwa rumah tempat tinggal dan perabotannya serta kendaraan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Karena harta itu disiapkan untuk kepentingan konsumsi pribadi, bukan untuk dikembangkan. Dari ini pula rumah, pertokoaan, mobil yang disewakan dikenakan zakat karena dikategorikan sebagai harta berkembang, jika telah memenuhi syarta-syarat lainnya.

(3) Telah mencapai nishob.
Nishob ialah batas minimal suatu harta dikenai kewajiban zakat berdasarkan ketentuan syariat. Jika kurang dari batas minimal tersebut, maka tidak wajib zakat. Sebagai contoh, nishob onta adalah 5 (lima) ekor onta, nishob kambing adalah 40 (empat puluh) ekor kambing. Nishob emas adalah 20 (dua puluh) mitsqal atau kurang lebih seberat 85 (delapan puluh lima) gram emas murni. Nishob perak adalah 200 (dua ratus) Dirham atau setara dengan 595 (lima ratus sembilan puluh lima) gram perak murni. Nishob zakat perdagangan adalah senilai 85 (delapan puluh lima) gram emas murni. (Lihat Dalil Al-Irsyaadaat Li Hisab Zakati Asy-Syarikaat, hal.24-25).

Maka, jika seseorang memiliki onta kurang dari lima ekor onta, atau memiliki emas atau barang dagangan yang nilainya kurang dari 85 gram emas murni atau kurang dari 200 dirham perak murni, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ مِنَ التَّمْرِ صَدَقَةٌ ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنَ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ مِنَ الإِبِلِ صَدَقَةٌ
“Tidak ada kewajiban zakat pada kurma (atau hasil pertanian, pent) yang kurang dari 5 wasaq (setara dengan 900 kg, pent). Tidak ada kewajiban zakat pada wariq/perak yang kurang dari 5 uqiyah (1 uqiyah berjumlah 40 dirham). Dan tidak ada kewajiban zakat pada onta yang kurang dari 5 ekor.” (HR. Bukhari II/529 no. 1390, dan Muslim II/675 no. 980)

Syarat mencapai nishob adalah syarat yang disepakati oleh mayoritas ulama. Hikmahnya adalah orang yang memiliki harta kurang dari nishob tidak termasuk orang kaya, sedangkan zakat hanya diwajibkan atas orang kaya untuk menyenangkan orang fakir dan miskin. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
… فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ…
“… beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” (HR.Bukhari II/505 no.1331, dan Muslim I/50 no. 19, dari Ibnu Abbas).

(4) Telah mencapai haul (masa satu tahun).
Maksudnya, harta yang dikenai zakat telah melewati masa satu tahun atau 12 bulan Hijriyah. Ini terhitung sejak harta itu mencapai nishob pada pemiliknyanya. Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata uang, perdagangan dan hewan ternak. Sedangkan untuk zakat hasil pertanian tidak ada syarat melewati masa satu tahun, karena zakat dari hasil pertanian dikeluarkan pada setiap kali panen jika telah mencapai nishobnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin).” (QS. Al-An’am: 141)

(5) Nishob itu sudah lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya.
Yang dimaksud kebutuhan pokok ialah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi ia akan mengalami kesulitan, kebinasaan atau bahkan kematian. Seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, alat kerja, alat perang, dan bayar hutang. Jika ia memiliki harta dan dibutuhkan untuk keperluan ini, maka ia tidak wajib zakat. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.” (QS. Al-Baqarah: 219).

Yang dimaksud Al-afwu dalam ayat di atas adalah yang lebih dari kebutuhan keluarga, seperti yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan kebanyakan ulama tafsir. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut). Kebutuhan dasar itu mencakup kebutuhan pribadi dan yang menjadi tanggung jawabnya seperti isteri, anak, orang tua, kerabat yang dibiayai. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى
“Sebaik-baik sedekah (zakat) ialah yang dikeluarkan dari apa yang telah melebihi kebutuhan pokok.” (HR. Bukhari II/518 no. 1360, dan Muslim II/717 no.1034)

Masalah: Apakah hutang menghalangi seseorang dari kewajibannya mengeluarkan zakat?

Dalam hal ini para ulama telah sepakat bahwa apabila hutangnya tidak mengurangi nishob, maka ia berkewajiban mengeluarkan zakat pada semua harta kekayaannya yang telah mencapai nishob, baik emas, perak, perdagangan, hewan ternak maupun hasil pertanian.

Adapun jika hutangnya menggugurkan atau mengurangi nishob, maka telah terjadi silang pendapat diantara mereka. Namun pendapat yang nampak rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat yang menyatakan bahwa hutang tidak menghalangi seseorang dari kewajibannya mengeluarkan zakat. Ini adalah pendapat imam Syafi’i (pendapat terakhir beliau), sebagian ulama pengikut madzhab Syafi’i, imam Ahmad (dalam satu pendapat beliau), madzhab zhahiri, dan merupakan pendapat yang dipegangi oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz dan syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Di antara alasan-alasan mereka adalah sebagai berikut:
(1) Keumuman dalil-dalil yang mewajibkan zakat pada harta, diantaranya firman Allah Ta’la:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
(2) Tidak ada satu dalil pun dari Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Ijma’ para ulama yang menggugurkan kewajiban zakat pada harta yang diperoleh dari hutang.
(3) Tidak ada satu riwayat pun yang menunjukkan bahwa para amil zakat di zaman Nabi yang bertugas memungut zakat bertanya kepada pemilik harta yang telah mencapai nishob, apakah ia mempunyai hutang atau tidak. Demikian pula Nabi tidak pernah memerintahkan mereka agar menanyakan hal itu, padahal kebanyakan para petani di zaman itu terbiasa berhutang (pinjam modal) dalam tempo satu atau dua tahun.
(4) Bahwa zakat merupakan kewajiban pada harta, sebagaimana dalam wasiat Nabi kepada Muadz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke negeri yaman sebagai duta dakwah. Sedangkan hutang adalah kewajiban yang berkaitan dengan dzimmah (tanggungan). Oleh karenanya, jika sekiranya semua harta yang ada di tangan seseorang yang berhutang rusak, tetap saja hutangnya itu tidak gugur sedikit pun dari tanggungannya.

Demikian penjelasan singkat tentang syarat-syarat wajibnya zakat. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembacanya. Wallahu Ta’ala A’lam Bish-Showab.

[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi… Volume 2 Tahun 1432 / 2011]