Senjata utama yang harus disiapkan olah para pemburu ilmu adalah ketertarikan dan kedisiplinan membaca. Dengan membaca maka seseorang akan mendapat segala sesuatu yang ia inginkan, bahkan ketika seseorang lebih banyak membaca dari gurunya, maka saat itu ia dikatakan lebih pandai dari gurunya. Tak ayal lagi bahwa buku adalah jendela dunia dan barang siapa hendak melihat keindahan dunia hendaklah ia membuka jendela itu dan memperhatikannya dengan seksama.
Setelah pemburu mendapatkan tangkapan, maka ia harus segera mengikat tangkapan tersebut agar tidak lari dan lepas. Pengikat ilmu yang paling kuat dan aman adalah pena, yakni dengan menuliskannya.
Dalam ayat yang pertama kali turun disebutkan
“bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantara pena. Dia mengajarkan kepada menusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq 1-5)
Itulah urgensi pena untuk menambah pengetahuan. Tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya, “Segala puji bagi Allah, karena wahyu yang diturunkan pertama kali adalah ayat-ayat yang penuh barakah tersebut. Itu merupakan rahmat, sebagai wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.” Beliau juga mengatakan, “Terkadang ilmu itu datang dengan berfikir, terkadang dengan lisan, dan terkadang dengan tulisan.” Lalu beliau menambah dengan atsar, “Ikatlah ilmu dengan catatan.”
Imam asy-Asyafi’I menilai orang yang tidak mau memcatat ilmu yang ia dengar, itu seperti pemburu yang tidak mau mengikat hasil buruannya. Beliau berkata, “Ilmu itu adalah buruan, sedangkan catatan laksana tali pengikat. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah tindakan yang bodoh jika Anda menangkap merpati lalu Anda biarkan ia terlepas bersama kawanannya.”
Benarlah apa yang dikatakan beliau. Betapa sering kita mendengarkan kajian, mendengarkan hadits dibacakan, atau kisah yang mengesankan, akhirnya hilang tak tersimpan. Pada gilirannya, kitapun menyesal lantaran kita tak mampu menghadirkannya saat diperlukan.
Pentingnya menulis juga dikuatkan oleh Imam asy-Sya’bi, beliau berkata, “Jika kamu mendengar suatu ilmu, maka tulislah, meskipun (jika tak ada kertas) di dinding, itu lebih baik bagimu, karena suatu saat kamu pasti membutuhkannya.”
Mereka yang Akrab dengan Pena
Ketika menyebut nama-nama besar para ulama, sejarah selalu menyebut senjata yang mengantarkan mereka sampai ke puncak ilmu. Senjata itu adalah pena. Seperti Imam Muhaddits, az-Zuhri yang banyak berjasa dalam periwayatan hadits. Hingga dikatakan, “Kalaulah bukan karena az-Zuhri, niscaya banyaklah sunah yang hilang.”
Tentang beliau, Shalih bin Kaisan berkata, “Saya berada dalam satu majlis bersama az-Zuhri untuk menuntut ilmu, kamipun mencatat apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Lalu az-Zuhri berkata, “Kita catat apa-apa yang dikatakan oleh sahabat.” Tetapi saya berkata, “Itu bukan sunah, kita tidak perlu mencatatnya.” Maka az-Zuhri mencatatnya, sementara saya tidak, iapun sukses, sementara saya banyak kehilangan.”
Sa’id bin Jubair, ulama tabi’in yang ahli dalam tafsir, beliau mengisahkan masa-masa indah belajar bersama gurunya, Ibnu Abbas, “Aku menulis apa yang disampaikan Ibnu Abbas hingga catatanku penuh, maka aku menulisnya di telapak tanganku, dan bahkan di bagian atas sendalku.”
Lain lagi dengan Imam Isma’il al-Jurjani beliau setiap malam menyalin sebanyak 90 halaman dengan salinan yang detil. Adz-Dzahabi mengomentari, “dengan cara seperti itu, andai saja beliau ingin menyalin kitab Shahih Muslim, niscaya hanya membutuhkan waktu satu pecan saja.” Padahal, untuk ukuran sekarang, kitab Shahih Muslim tidak kurang dari 1.500 hlaman dengan ukuran huruf (font) yang kecil. Subhanallah.
Sebuah pelajaran berharga untuk kita semua. Bahkan mereka yang sudah berkelimpahan ilmu pun masih sempat dan menyempatkan diriuntuk tetap menumpahkan tinta mereka.
Ayo bersama kita menghabiskan tinta. Karna tak kan habis ilmu dituliskan meski laut dijadikan tinta dan pohon sbagai penanya…
Diposkan oleh khozanah ilmu